ampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Karena setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah/volume sampah adalah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang digunakan sehari-hari. Demikian juga jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pegelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’ gaya hidup masyarakat.
Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Ketika populasi penduduk masih relatif sedikit dan kebutuhan industri terhadap ruang masih relatif rendah, pembuangan sampah dengan pola pengelolaan konvensional memadai untuk dilakukan. Saat ini, dengan meningkatnya tekanan populasi penduduk, perkembangan industri serta terjadinya urbanisasi yang mengacaukan tatanan kota, sistem pengelolaan sampah konvensional sudah tidak sesuai lagi. Permasalahan yang ada saat ini adalah tinginya biaya operasional dan semakin sulitnya ruang yang pantas untuk pembuangannya. Akibatnya, kebanyakan kota-kota di Indonesia hanya mampu mengumpulkan dan membuang hampir 50 persen dari seluruh produksi sampahnya, sisanya ditangani dan dibuang sembarangan di selokan, sungai, pantai, dll tempat. Sebagian besar sampah ditangani dan dibuang dengan cara yang tidak saniter, boros dan mencemari.
Sampah dan pengelolaannya kini menjadi masalah yang mengkhawatirkan dan mendesak di Sulawesi Utara, sebab bila tidak dilakukan pengelolaan yang baik akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan yang merugikan, mencemari tanah, air dan udara sehingga berdampak pada nilai estetik dan kesehatan manusia. Masalah sampah juga sudah bukan lagi sekedar masalah kebersihan dan lingkungan saja, tetapi sudah menjadi masalah sosial yang mampu menimbulkan konflik seperti di TPA Leuwigajah-Cimahi dan di Bojong-Bogor, Jabar.
Penanganan dan pengendalian sampah yang benar tentunya dimulai dari daratan tempat pemukiman yang merupakan pusat aktivitas manusia. Pengelolaan sampah di daratan merupakan kunci keberhasilan secara menyeluruh, dan lingkungan sekitarnya seperti sungai dan laut merupakan indikator keberhasilan tersebut. Untuk mendapatkan tingkat efektifitas dan efisiensi yang tinggi dalam pengelolaan sampah, diperlukan: (1) Perubahan paradigma dari tujuan membuang menjadi memanfaatkan kembali untuk mendapatkan keuntungan; (2) Perbaikan/perubahan sistem manajemen sampah secara keseluruhan terutama pemilihan cara dan teknologi yang ramah lingkungan (3) Memaksimalkan penanganan sampah organic sebagai bahan kompos untuk lahan pertanian, taman kota dan taman hiburan (4) Sampah anorganik di daur ulang menjadi bahan baku industri. (5) Perlu kerja sama antar lembaga pemerintah terkait diikuti payung hukum yang bersifat mengikat, berlaku bagi masyarakat dan industri. Dan tentunya diatas semua itu diperlukan partisipasi aktif dari seluruh masyarakat sumber sampah berasal, terutama merubah dan mengelola gaya hidup.
Sistem Konvensional
Hampir semua kota di Indonesia memiliki manajemen sampah yang sama dan masih berkutat di sekitar metode dan lokasi pemindahan fisik sampah dari TPS ke TPA, kumpul-angkut-buang-timbun. Sampah domestik dan industri (SDI), yaitu sampah rumah tangga, pasar, pabrik, rumah sakit, dan hotel diangkut dari TPS (tempat pembuangan sementara) ke TPA (tempat pembuangan akhir) dengan gerobak/truk pengangkut melewati rute tertentu sampai pada lahan penampung yang lokasinya jauh dari pemukiman. Sebuah pengaturan klasik yang akhirnya menjadi praktik pembuangan secara terbuka di lokasi yang sudah ditentukan (open dumping). Sampah secara mekanis dibuang, ditumpuk, ditimbun, diratakan, dipadatkan, dan dibiarkan membusuk serta mengurai sendiri secara alami di TPA. Sebagian lain dibakar secara langsung di tempat dengan atau tanpa menggunakan fasilitas insinerator (tungku pembakaran). Pola pengelolaan seperti ini memunculkan berbagai permasalahan dampak lingkungan, mulai dari pembuangan sampah domestik/industri ke TPS, sampai ke TPA. Memang dalam kegiatan ini, seolah-olah pengelolaan sampah adalah urusan pemerintah semata. Masyarakat sering hanya menjadi penonton, apalagi bila merasa telah membayar uang retribusi, sehingga penanganan selanjutnya adalah menjadi urusan pemerintah. Pelayanan pengelolaan sampah kurang mengikut-sertakan partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat cenderung tidak peduli terhadap sampah di sekelilingnya, dan menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah khususnya PD Kebersihan.
Fakta lapangan yang selama ini terjadi menampilkan proses kerja yang memiliki banyak kelemahan semenjak dikumpulan dari TPS sampai di TPA. Kelemahan utama yaitu belum dipilah-pilahnya sampah, sehingga kalaupun diterapkan teknologi lanjutan seperti komposting maupun daur-ulang memerlukan tenaga untuk pemilahan menurut jenisnya sesuai dengan yang dibutuhkan, dan ini akan memerlukan dana maupun menyita waktu. Secara teknis, tidak semua sampah yang ada di pelosok-pelosok wilayah pemukiman/industri dapat dicapai gerobak/truk untuk diangkut ke TPS/TPA. Akibatnya, banyak sampah tertinggal, tercecer, dibiarkan membusuk atau dibakar di tempat yang sering menimbulkan polusi udara di lingkungan itu sendiri. Demikian juga terjadinya penimbunan di TPS akibat alat pengangkutan ke TPA yang terbatas sehingga tertunda. Maka terjadi proses pembusukan yang mengundang lalat, nyamuk, tikus, dan berbagai sumber penyakit lainnya. Kondisi itu tentunya mengganggu kualitas lingkungan hidup. Bahkan, penundaan sering terjadi berlarut-larut, sehingga terbentuk cairan hasil pembusukan dengan kandungan logam terurai yang berbahaya saat meresap ke dalam tanah. Proses yang sama terjadi dalam jumlah yang lebih besar di TPA.
Pada tahap pembuangan akhir, sampah mengalami pemrosesan baik secara fisik, kimia maupun biologis. Ada dua proses pembuangan akhir, yaitu sistem open dumping dimana sampah ditimbun pada areal tertentu tanpa membutuhkan tanah penutup; sedangkan pada cara sanitary landfill, ditimbun secara berselang-seling antara lapisan sampah dan lapisan tanah sebagai penutup. Sampah yang telah ditimbun pada TPA dapat mengalami proses lanjutan dengan pembakaran (Incinerator), komposting yang menghasilkan kompos sebagai pupuk maupun penguat struktur tanah, dan teknologi daur ulang yang dapat menghasilkan bahan potensial seperti: kertas, plastik logam dan kaca/gelas.
TPA memerlukan lahan yang besar apalagi bila kota menjadi semakin bertambah jumlah penduduknya, karena sampah akan menjadi semakin bertambah baik jumlah dan jenisnya. Apabila Insinerator yang ada tak dapat mengimbangi jumlah yang masuk, maka jumlah timbunannya semakin lama makin meningkat dan diikuti timbulnya berbagai masalah lingkungan dan sosial. Sampah yang ditampung di TPA saat ini, sebagian disebar-ratakan untuk dibiarkan membusuk dan tercerna secara alami (3-6 bulan, bahkan lebih dari 12 bulan) menjadi lahan yang subur bagi pembiakan jenis-jenis bakteri serta bibit penyakit lain, menimbulkan bau tak sedap yang dapat tercium dari puluhan bahkan ratusan meter, mengurangi nilai estetika dan keindahan lingkungan. Pembuangan sistem open dumping ini tentunya menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Pada penimbunan sistem anarobik landfill akan timbul leachate (proses penguraian) di dalam lapisan timbunan dan merembes ke dalam lapisan tanah di bawahnya menimbulkan pencemaran tanah dan air. Leachate ini sangat merusak dan menimbulkan bau tidak enak, selain itu dapat menjadi tempat pembiakan bibit penyakit. Pembuangan dengan cara sanitary landfill, walaupun dapat mencegah timbulnya bau, penyakit dan lainnya, tapi masih memungkinkan muncul masalah lain yakni timbulnya gas yang menyebabkan pencemaran udara. Gas-gas yang mungkin dihasilkan adalah: methan, H2S, NH3 dan lainnya. Gas H2S dan NH3 walaupun jumlahnya sedikit, namun menyebabkan bau yang tidak enak sehingga dapat merusak sistem pernafasan tanaman dan membuat tanaman kekurangan oksigen-akhirnya mati.
Penggunaan Insinerator dalam pengolahan sampah memiliki kelemahan, diantaranya menghasilkan abu dan gas yang memerlukan penanganan lebih lanjut. Insinerator ternyata tidak mampu membakar sampah dengan sempurna, dan tetap menghasilkan asap hasil pembakaran yang mengandung emulsi padat bahan beracun dan berbahaya (B3), berupa : NOx, SOx dan lain-lain yang menimbulkan pencemaran udara. Dapat juga menimbulkan air kotor yang mencemari tanah dan air saat proses pendinginan gas maupun proses pembersihan dari abu maupun terak. Kualitas air kotor dari instalasi ini menyebabkan COD meningkat dan pH menurun.
Bagaimanapun, penanganan lanjut dari hal teknis seperti diatas tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit agar pengelolaannya ramah lingkungan. Peningkatan kesejahteraan petugas yang terlibat dalam penanganan sampah juga berpengaruh, di mana rendahnya penghasilan mereka berakibat pada kegairahan kerja yang rendah. Tidak efektif/efisiennya sistem pengelolaan saat ini yang tidak dirasakan oleh masyarakat adalah dapat dikeluarkannya miliaran rupiah untuk membuat dan mengelola TPA. Biaya ini bahkan dapat melebihi biaya jasa pelayanan listrik maupun air. Sebenarnya, beberapa penanganan yang justru sederhana dan belum maksimal dilakukan yaitu usaha pembuatan kompos dari sampah basah (organic), pembakaran yang dapat menghasilkan listrik dan upaya sistem daur ulang menjadi barang-barang yang bernilai ekonomi.
Secara umum sistem pengelolaan sampah konvensional saat ini dilakukan dengan metode mekanis yang tidak berwawasan lingkungan. Lamanya proses penguraian sampah organik menjadi bahan-bahan anorganik alami yang netral terhadap keseimbangan alami tak lagi mampu menampung lajunya penumpukan fisik sampah. Dengan kata lain, jumlah sampah yang masuk ke lingkungan sudah melampaui kapasitas daya dukung lingkungan alami. Pada dasarnya pola pembuangan sistem TPA sudah tak relevan lagi dengan lahan kota yang semakin sempit dan pertambahan penduduk yang pesat, bila hal ini terus dipertahankan akan membuat kota dikepung “lautan sampah” sebagai akibat kerakusan pola ini terhadap lahan dan volume sampah yang terus bertambah. Sampah melimpah di daerah pemukiman sampai keluar pada lingkungan sekitarnya, ke sungai atau di daerah pesisir pantai dan di laut. Ironisnya, lautan telah lama dipandang sebagai tempat terakhir untuk pembuangan sampah yang dihasilkan manusia. Sedangkan bumi mempunyai kemampuan terbatas untuk menyerap semua sampah kita. Meskipun sedikit dalam jumlah tetapi dapat mengakibatkan pengaruh nyata terhadap ekosistem pesisir dan laut dan kembali lagi berdampak pada manusia lewat rantai makanan.
Menuju ‘Zero Waste’
Pengelolaan sampah secara terpadu dan menyeluruh adalah meliputi penghapusan model TPA secara jangka panjang karena dalam banyak hal pengelolaan konvensional ini masih sangat buruk, tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Sistem penanganan sampah yang ideal memiliki prinsip ‘membuang sekaligus memanfaatkannya’ sehingga selain membersihkan lingkungan, juga menghasilkan kegunaan baru. Sistem pengelolaan yang baik dan ideal harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang, kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat merubah paradigma dari cost center menjadi profit center dengan cara memaksimalkam peran masyarakat dan pemanfaatan sampah menjadi bahan yang mempunyai nilai. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh sistem ini: (1) Biaya pengangkutan dapat ditekan karena dapat memangkas mata rantai transportasi; (2) Tidak memerlukan lahan besar untuk TPA; (3) Dapat menghasilkan nilai tambah/ekonomis; (4) Dapat lebih mensejahterakan petugas pengelola kebersihan dan pemulung; (5). Bersifat lebih ekonomis dan ekologis; (6). Dapat menambah lapangan pekerjaan dengan berdirinya badan usaha yang mengelola sampah menjadi bahan bermanfaat; (7). Dapat lebih memberdayakan masyarakat dalam mengelola kebersihan.
Pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Selama ini pengelolaannya, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena bersifat terpusat dengan rantai distribusi terlalu panjang. Jika satu unit tak mampu mengatasi masalah, maka seluruh sistem akan terganggu. Dapat dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk ini. Belum lagi, sampah yang dibuang masih tercampur antara sampah basah dan sampah kering. Dalam sistem pengelolaan berbasis masyarakat, langkah penting awal yang harus dilakukan yaitu pemisahan sampah berdasarkan jenisnya. Sampah yang dibuang harus dipilah sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang tercampur yang mengakibatkan rusak dan berkurangnya nilai material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya.
Sampah yang dihasilkan di Indonesia sebagian besar merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70 persen dari total volume sampah. Secara umum, jenis sampah dibagi 2 yaitu organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan anorganik (sampah kering). Sampah basah berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, dll. Sampah jenis ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) dan kembali ke lingkungan alam secara alami. Jika dikelola dari lingkungan terkecil pada masing-masing rumah dalam suatu kawasan (RT/RW) dengan membuatnya menjadi kompos maka paling tidak volume sampah dapat diturunkan/ dikurangi. Sampah basah dapat pula langsung disebarkan ke lahan pertanian tanpa menimbulkan dampak lingkungan. Komposting merupakan cara paling ramah lingkungan dibanding pembakaran dengan insinerator (dapat berdampak pula pada pemanasan udara secara global), membuang sampah di belakang rumah, atau di sembarang tempat, termasuk sungai. Sebaliknya dengan sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dll yang tak dapat terdegradasi secara alami. Jenis ini bisa dikembalikan dan di daur ulang kembali oleh perusahaan yang menghasilkan produk tersebut. Industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut seperti pelabelan (ecolabel). Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah. Limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang lagi agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaannya.
Sampah hasil proses industri yang digunakan masyarakat biasanya tidak terlalu banyak variasinya seperti limbah domestik atau medis, tetapi kebanyakan merupakan sampah yang berbahaya secara kimia termasuk obat-obatan yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan. Sampah khusus seperti ini tidak sesuai diinsinerasi; seperti merkuri, harus dihilangkan dengan cara merubah pembelian bahan-bahan; bahan lainnya dapat didaur-ulang; selebihnya harus dikumpulkan dengan hati-hati dan dikembalikan ke pabriknya. Pemilahan sampah tentunya tepat dilakukan untuk mencegah potensi penularan penyakit atau bahan berbahaya lainnya. Dengan beberapa teknologi non-insinerator mampu mendisinfeksi sampah medis ini. Teknologi ini biasanya secara teknis tidak rumit dan rendah pencemarannya bila dibandingkan dengan insinerator.
Sistem manajemen sampah berbasis masyarakat, dimulai dari pengelolaan dari tingkat rumah tangga. Setiap rumah memisahkan sampah mereka ke dalam tiga tempat (tong). Masing-masing diisi oleh sampah organik, anorganik yang dapat didaur ulang (seperti gelas, plastik, besi, kertas dsbg) dan yang tidak dapat di daur-ulang (sampah khusus). Sampah misalnya plastik atau kertas dikumpulkan kemudian dikirim ke masing-masing industri yang mengolahnya. Sedangkan sampah organik disatukan kemudian dikomposkan untuk digunakan sendiri di pekarangan rumah atau dalam skala besar sebagai pupuk pertanian. Industri pengolah bahan sampah menjadi bahan baku dapat dibuat pada skala kawasan, bisa terdiri dari 1 kelurahan/kecamatan. Ini untuk memangkas jalur transportasi agar menjadi lebih efisien. Dari bahan sampah yang telah dipilah kemudian dibawa ke industri pengolah yang lebih besar lagi, yang dapat menerima bahan tersebut dari masing-masing kawasan. Di tempat ini bahan bekas tersebut dapat menjadi bahan baku untuk diolah menjadi barang yang bernilai. Para pemulung dapat ditingkatkan harkat dan martabatnya menjadi mitra tetap pada industri kecil pengolah bahan sampah menjadi bahan baku. Dana untuk membayar imbalan dari para pegawai/petugas yang terlibat dalam kebersihan dan angkutan sampah dapat diperoleh dari iuran warga ditambah dari hasil keuntungan dari pemrosesan bahan sampah. Teknologi yang digunakan untuk memecahkan permasalahan sampah ini merupakan kombinasi tepat guna yang meliputi teknologi pengomposan dan teknologi daur-ulang menuju Zero Waste. Pengelolaan sampah dengan cara atau sistem pengelolaan tanpa sisa kecuali kompos.
Kelihatannya rumit, namun sistem ini berhasil membuat lingkungan bersih dan nyaman, disamping itu sampah baik organik maupun non-organik dapat bernilai ekonomi. Dalam hal ini memang gaya hidup seperti disiplin dan keteraturan masyarakat sangat diperlukan. Pemerintah Jepang saja membutuhkan waktu 10 tahun untuk membiasakan masyarakatnya memilah sampah dan membuangnya berdasarkan jenisnya. Masyarakat Jepang saat ini diwajibkan memilah sampah sekurang-kurangnya 20 kategori berdasarkan jenisnya. Ke-20 jenis tersebut masuk kedalam 5 kategori umum, yaitu: (1). ‘Namagomi’ untuk sampah basah/kompos, (2) ‘Moyaserugomi’ untuk sebagian sampah yang bisa dibakar, (3) ‘Moyasenaigomi’ untuk yang tidak bisa dibakar, (4) ‘Sigengomi’ untuk sampah yang bisa didaur-ulang (recycle) yang berupa: (a) kertas dan koran (b) pakaian bekas (c) kaleng bekas (d) penutup botol (e) botol bekas (f) botol plastik (g) pembungkus/wadah makanan instant (h) plastik-plastik pembungkus, serta (5) ‘motoikanaigomi’ untuk sampah khusus, berupa (a) minyak bekas termasuk minyak goreng, (b) baterei-baterei, (c) aki bekas, (d) ban-ban bekas, (e) obat-obatan bekas/sampah farmasi (f) drum-drum bekas (g) sepeda bekas (h) sepeda motor bekas (i) mobil bekas dan (j) barang-barang elektronik bekas lainnya seperti tape/tv/video dan komputer.
Untuk lebih memudahkan pemilahan berdasarkan jenisnya, seperti kategori ‘sigengomi’, semua produk yang dikonsumsi masyarakat telah diberi label (ecolabel) oleh industri pembuatnya ; misalnya pembungkus rokok, telah diberi 2 label daur-ulang (plastic dan kertas). Semua sampah dikumpulkan pada satu tempat setiap minggu untuk diangkut. Kategori sigengomi biasanya diangkut berdasarkan jadwal harian setiap minggu oleh petugas. Bila sampah di depan rumah penduduk tidak sesuai dengan yang seharusnya diambil hari itu, sampah itu akan dibiarkan saja tidak diambil. Sampah sigengomi dan motoikanaigomi diangkut kembali ke perusahaan industri yang menghasilkan produk bekas tersebut. Pembuangan sampah ‘motoikanaigomi’ oleh masyarakat dikenakan tarif tertentu. Selain itu retribusi perbulannya digabungkan dengan pemakaian air terpakai/bekas/kotor sebagai ‘Pajak Ekologi’. Masyarakat yang tidak membuang sampah sesuai jadwal apalagi membuang tidak pada tempatnya dikenakkan denda yang tinggi. Setelah hari pengambilan yang khusus, penanganan lanjutannya istimewa pula. Sampah tidak hanya menjadi barang yang ditinggikan nilainya, tapi juga bermanfaat kembali ke masyarakat. Nilai ekonomis disini tidak sekadar keuntungan (profit) tapi juga keuntungan berupa kebersihan lingkungan. Coba hitung, berapa biaya yang bisa dihemat dari pengelolaan sampah sistem ini?
Sistem dan program penanganan sampah memang harus disesuaikan dengan kondisi setempat tahap demi tahap agar berhasil, disesuaikan dengan perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Contoh sukses adalah di Kairo, Mesir yang berhasil membuat sistem pengumpulan dan daur-ulang yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah dengan mempekerjakan 40,000 orang. Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah. Sampah-sampah organik sudah seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri. Bagaimanapun, hambatan terbesar daur-ulang di Indonesia, adalah kebanyakan produk tidak dirancang untuk dapat didaur-ulang. Selama ini para pengusaha tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya. Perluasan tanggungjawab produsen (Extended Producer Responsibility-EPR) adalah suatu pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendisain ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang berbahaya dan beracun. Hal ini selain mempermudah proses daur-ulang juga merupakan sistem-sistem alternatif yang mampu menggantikan fungsi-fungsi landfill atau insinerator.
Produksi bersih merupakan salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan limbah-limbahnya yang aman dalam kerangka siklus ekologis, ‘pembangunan’ yang menerapkan prinsip ekologi yang berkelanjutan. Prinsip produksi bersih adalah prinsip 4R yaitu: (1) Reduce (mengurangi); sebisa mungkin me-minimalisasi barang atau material yang digunakan karena semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan. (2) Reuse (memakai kembali); sebisa mungkin memilih barang-barang yang bisa dipakai kembali dan menghindari pemakaian barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum menjadi sampah. (3) Recycle (mendaur-ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain. (4) Replace (mengganti); teliti barang yang dipakai sehari-hari. Ganti barang-barang yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, misalnya, ganti kantong keresek kita dengan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena bahan ini tidak bisa didegradasi secara alami.
Di Indonesia memang tidak ada standar yang tegas mengenai pengelolaan sampah beserta aspek hukumnya. Semua daerah berpegangan pada peraturan daerah masing-masing, sehingga penanganannya pun berbeda-beda di masing-masing daerah. Selain itu, pemerintah daerah lebih terjebak pada masalah retribusi dan sanksi-sanksi (denda) untuk meningkatkan pendapatan daerah bahkan terlalu berharap pada investor, dibanding dengan tanggung jawab manajemen pengolahan sampah yang dibebankan kepada mereka. Seperti misalnya keluar wacana pembuatan peraturan penanganan sampah perairan. Memang hal tersebut sangat diperlukan dan sedini mungkin diantisipasi mengingat ancaman sampah yang dapat menimbulkan pencemaran pada ekosistem perairan yang ditimbulkan terutama sampah-sampah yang tidak terlihat (B3) yang sangat berbahaya. Namun, yang mendesak sebenarnya bagaimana menangani sampah di darat yang menjadi sumber pencemaran. Karena hampir seluruh sampah yang masuk ke laut bersumber dari daratan maka penanganan di darat haruslah diprioritaskan. Di darat saja belum berhasil, apalagi di laut !
Permasalahan sampah adalah merupakan permasalahan lingkungan, dan jalan keluar menghindari permasalahan ini justru terletak pada alam yang dikelola dengan cerdas. Seandainya gaya hidup manusia serba teratur dan membiasakan diri untuk berdisiplin sejak dini, permasalahan lingkungan ini akan jauh dari kenyataan. Tindakan yang paling bermanfaat dan bijaksana adalah dengan menghindarkan segala bentuk sampah dengan sadar. Partisipasi masyarakat merupakan aspek yang terpenting dalam sistem pengelolaan sampah karena pengelolaan sampah adalah juga merupakan pengelolaan gaya hidup.
Tags: environment, management
Prev: KRISIS BBM : KRISIS ENERGI
Next: Kerangka Perlindungan Keanekaragaman Hayati