function mxclightup(imageobject, opacity){ if (navigator.appName.indexOf(“Netscape”)!=-1 &&parseInt(navigator.appVersion)>=5) imageobject.style.MozOpacity=opacity/100 else if (navigator.appName.indexOf(“Microsoft”)!= -1 &&parseInt(navigator.appVersion)>=4) imageobject.filters.alpha.opacity=opacity }
Pembangunan bendungan besar kerap menuai masalah. Pengalaman kasus Kotopanjang, Kedungombo dan rencana pembangunan waduk Jatigede jadi bukti. Sayangnya, pemerintah tak bisa berkaca. Beberapa peristiwa yang terjadi saat pembangunan Asahan, Kedungombo, Kotopanjang atau rencana pembangunan waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, misalnya, ternyata menyisakan pengalaman traumatik bagi masyarakat tentang sebuah proyek bendungan. “Hambatan utama semua pembangunan bendungan adalah apabila tidak ada kesepatakan masyarakat,” kata Ketua Umum KNI-BB, Ir Bambang Kuswidodo, Dipl HE, kepada Suara Publik. Dr Agus Maryono, ahli hidrologi dari UGM, merinci berbagai kerugian yang terjadi saat pembangunan bendungan besar dilakukan pemerintah Indonesia. Di antaranya, kerusakan hutan, tanah, lansekap, ekosistem flora dan fauna yang hidup serta masalah sosial ekonomi masyarakat yang terkena dampak akibat penggenangan bendungan besar ini; perubahan kualitas air bendungan akibat pembusukan hutan dan vegetasi yang tergenang; perubahan transportasi sedimen sepanjang alur sungai; perubahan karakteristik banjir yang menyebabkan perubahan habitat flora dan fauna sungai; dan interupsi alur sungai yang dapat menyebabkan terjadinya kepunahan berbagai jenis ikan-ikan sungai yang bermigrasi. “Pada era Orde Baru, itu semua tidak mendapatkan perhatian semestinya, tak ada transparansi dan kontrol publik terhadap sisi AMDAL pembangunan bendungan,” ujarnya. Dalam bahasa lebih keras, kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Nurhidayati, menyebutkan, masyarakat yang berada di daerah genangan (bendungan) ternyata tidak mendapatkan keuntungan dari proyek bendungan, terusir dari tempat kelahirannya serta kehilangan nilai-nilai adat budaya yang selama ini dipegang teguh dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat setempat. Menurut Nurhidayati, pembangunan bendungan di mana pun, termasuk di Indonesia, selalu saja menimbulkan masalah. “Pada kasus Kedungombo, misalnya, pemerintah sama sekali tak memperhatikan kondisi AMDAL di situ. Aspek ekologi hancur, masyarakat pun mengalami pemiskinan sosial,” ujarnya. Tuntutan keras sebagian warga Kedungombo juga harus berhadapan dengan kerasnya rezim militer yang berkuasa pada masa Orde Baru. “Setiap ada perlawanan oleh para pemilik tanah dan petani yang tanahnya menjadi bendungan Kedungombo, selalu dihadapi secara represif oleh negara. Padahal, manfaat Kedungombu bagi kesejahteraan rakyat pun masih dipertanyakan,” katanya. Kenyataan serupa juga dialami oleh ribuan warga Riau dan Sumatera Barat yang tanah dan bangunannya terkena proyek pembangunan bendungan Kotopanjang. Pembangunan tersebut telah menenggelamkan 12 desa di dua provinsi tersebut. Tak kurang dari 4.886 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal. “Dampak lainnya adalah terjadinya kerusakan lingkungan dan ancaman kepunahan pada gajah, harimau sumatra, tapir, beruang melayu dan siamang,” kata Nurhidayati. “Kasus pembangunan bendungan Kotopanjang memang jadi persoalan serius. Itu seharusnya menjadi cermin buat pemerintah agar dalam membangun bendungan harus melibatkan stakeholder,” kata Dr Sutardi. Menurut dia, setiap ada pembangunan, apa pun bentuknya, termasuk bendungan, akan mendapat perlawanan dari masyarakat. Hal senada juga diungkapkan oleh Marjono. Menurut dosen Universitas Tarumanegara, Jakarta, itu, pembangunan waduk Kotopanjang memang sama sekali tidak melibatkan masyarakat di sana. Akibatnya, perlawananan masyarakat masih terus berlangsung hingga masuk ke meja hijau. ” Karena itu, membangun bendungan besar memang tidak mudah, perlu memenuhi prosedur yang benar dan tidak merugikan warga dan ekologi,” ujarnya. Harus diakui, dampak yang besar pembangunan waduk Kotopanjang itu itu amat terasa bagi warga di dua provinsi, Riau dan Sumatera Barat. Tak heran sekitar 8.000 warga Riau dan Sumatera Barat beserta Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sejak September tahun lalu menggugat pemerintah Jepang (cq Japan Bank for International Cooperation dan Tokyo Electric Power Services Co, yang terlibat langsung dalam proyek pembangunan dan pemerintah Indonesia atas pembangunan proyek Bendungan (dam) Kotopanjang di Sumatera. Mereka dinilai telah mencabut masyarakat Kotopanjang dari akar budayanya dan merusak lingkungan. Bendungan Kotopanjang itu digunakan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) memotong aliran Sungai Kampar Kanan dan Sungai Batang Mahat. Airnya menggenangi areal seluas 124 kilometer persegi. Kapasitas listrik yang dihasilkan 114 MW. Proyek dibiayai dengan utang 31,177 miliar yen dari Overseas Economic Development Fund (OECF) Jepang. Proyek ini merupakan bantuan Pemerintah Jepang untuk pengembangan ekonomi di negara berkembang yang dikenal dengan Overseas Development Assistance (ODA). Bantuan dilaksanakan oleh JBIC yang kini sudah digabung dengan OECF dan Bank Exim Jepang. Menurut Nurhidayati, semula pembangunan bendungan ini tidaklah sebesar itu. Usulan PLN sebelumnya hanyalah membangun PLTA berskala kecil dengan memanfaatkan potensi Sungai Batang Mahat. Akan tetapi, atas rekomendasi TEPSCO dibangunlah PLTA berskala besar 114 MW. “Kesalahan Pemerintah Jepang adalah menggunakan ODA untuk membiayai proyek yang diusulkan oleh TEPSCO, perusahaan Jepang. Padahal ODA hanya berhak membiayai proyek sesuai usulan pemerintah yang meminta bantuan utang,” kata Nurhidayati. Kesalahan berikutnya adalah kerja sama kedua negara dibuat dengan cara mengisolasi kawasan Kotopanjang dari kontrol publik. “Bagi rakyat Kotopanjang, bantuan ODA ini hanyalah persekongkolan ODA dengan rezim Soeharto agar bisa korupsi,” katanya. Dampak lingkungan dan sosial ekonomi yang harus ditanggung warga tidak bisa diukur dengan uang. Kasus Jatigede Kasus serupa juga terjadi pada rencana pembangunan waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat. Rencana pembagnunan bendungan yang dirintis sejak 1963 itu, hingga kini masih tertunda. Pro dan kontra terus merebak setelah pemerintah pusat memberi lampu hijau untuk membangun bendungan yang akan mengairi persawahan di Indramayu dan Cirebon itu. Rencananya, waduk Jatigede yang akan membendung aliran Sungai Cimanuk direncanakan dibangun di Kampung Jatigede Kulon Desa Cijeungjing Kec. Jatigede Kab. Sumedang. Berdasarkan studi Consultan Coyne et Billick (1967) dan Nedeco-SMEC (1973), dan SMEC (1978-1980), dari 15 lokasi yang dinilai layak, membangun waduk di Jatigede dinilai paling ekonomis. Namun, rencana pemerintah membangun waduk Jatigede, belum juga terealisasi. Proses akuisisi tanah, termasuk ganti rugi tanaman dan bangunan, kabarnya telah dilakukan secara bertahap sejak 1982. Dilema antara kebutuhan pasokan cadangan padi nasional itu dan bakal terusirnya ribuan jiwa dari kampung halamannya di Sumedang, membuat kenyataan projek ini terkatung-katung bahkan sampai kini. Beberapa warga masyarakat mengalah oleh keinginan negara dan memilih untuk pindah dengan berbagai cara. Cerita sedihpun menimpa keluarga-keluarga yang ditransmigrasikan. “Perlu dicatat, wilayah Jatigede memiliki tingkat kesuburan tanah yang tinggi dengan tiga kali panen dalam setahun. Jumlah ini fantastis, mengingat rata-rata sawah di Indonesia hanya panen dua kali setahun. Wajar bila banyak masyarakat translok yang memilih kembali pulang ke Jatigede,” kata pakar lingkungan hidup yang juga Kepala Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Padjadjaran (PPSDAL Unpad) Bandung, Prof. Dr. Oekan S. Abdoellah, M.A kepada Suara Publik. Atas kaitan inilah, Oekan menegaskan, persoalan sekarang bukan pada apakah bendungan itu perlu dibangun atau tidak. Lebih dari itu, bagaimana pemerintah dan pemegang kebijakan mampu menyelesaikan kendala sosial yang justru kini menjadi gulungan permasalahan yang semakin complicated. “Terlebih sekarang, resistensi masyarakat untuk pindah masih sangat kuat. Ini juga berkaitan dengan perubahan kondisi politik negara. Sepanjang tidak adanya jaminan dari pemerintah bahwa kehidupan mereka akan lebih baik jika mereka menerima projek pembangunan Jatigede, selama itu pula projek ini akan terkatung-katung. Kini, dengan dimensi waktu yang telah berubah, biaya investasi pembangunan projek itu juga akan semakin besar. Pada sisi inilah, saya bertanya apakah pemerintah mampu menyediakannya ?” ujar Oekan. ## |
|