SETIAP kali bertemu, setiap kali kami terlibat pembicaraan tentang Priangan, setiap kali itu pula almarhum MAW Brouwer selalu memuji keindahan alamnya. “Tuhan menciptakan tanah Priangan ketika sedang tersenyum,” begitu selalu dikatakan pastor dan psikolog yang kecewa berat karena gagal menjadikan Priangan sebagai tanah kelahirannya yang kedua.
TANAH Priangan bukan hanya terkenal karena keindahannya sehingga pemerintah kolonial Belanda pernah merencanakan Kota Bandung sebagai ibu kota pengganti Batavia. Tanah ini juga merupakan perpaduan yang harmonis antara alam dan penduduk yang ramah. Ke mana kita melangkah, ke sana akan disambut senyuman. Khas orang Sunda.
Namun, kekhasan itu tak selamanya bisa abadi. Alam Priangan yang indah hanya tinggal secuil yang tersisa. Di antaranya puisi Priangan Si Jelita karya Ramadhan KH dan lukisan-lukisan karya Yus Rusamsi yang mengabadikan suasana pedesaan di atas kanvas. Selebihnya adalah fatamorgana belaka. Tanah Priangan yang dikenal dengan Cekungan Bandung itu kini “amburadul”, sebuah istilah yang menunjukkan kekecewaan amat sangat karena eksploitasi yang berlebihan.
CEKUNGAN Bandung terdiri dari wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Bandung dengan luas seluruhnya 326.000 hektar lebih. Namun, setelah 26 tahun, sejak tanggal 17 Oktober 2001, wilayah administratif pemerintahannya bertambah dengan diresmikannya Cimahi menjadi “kota”. Cimahi sebelumnya merupakan kota administratif yang berada di wilayah Kabupaten Bandung.
Pusat Cekungan Bandung adalah Kota Bandung yang sekaligus menjadi ibu kota Provinsi Jawa Barat. Sebagai kota terbesar di Jawa Barat, Kota Bandung dengan beberapa kelebihan sarana dan prasarana tidak mengherankan memiliki daya tarik yang sangat kuat. Bahkan sedemikian “serakahnya”, kota ini pernah dijadikan “kota serba muka” yang menampung berbagai aktivitas. Antara lain sebagai pusat pemerintahan Jawa Barat, pusat perdagangan lokal dan regional, pusat pendidikan dan pengetahuan, kota pariwisata, kebudayaan dan konferensi, dan pusat industri.
Bahkan pada masa jaya IPTN yang kini menjadi PT Dirgantara Indonesia, Bandung pernah direncanakan menjadi “kota dirgantara”. Bayangkan!
Pemberian fungsi-fungsi itu memang menjadi daya tarik investor untuk melakukan investasi. Dengan demikian, pada gilirannya, akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi yang selama ini dijadikan salah satu indikator kemajuan. Harapan itu memang tidak meleset.
Selama periode 1975-1985, misalnya, laju pertumbuhan ekonomi nyata Kota (saat itu masih kota madya) Bandung mencapai rata-rata 9 persen per tahun berdasarkan harga konstan tahun 1973. Pada periode 1985-1990 meningkat tajam menjadi 12,02 persen. Jauh di atas rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat yang sebesar 7,6 persen.
Namun, meningkatnya investasi tersebut pada gilirannya mendorong makin meningkatnya arus migrasi. Padahal, Kota Bandung bukanlah Surabaya atau apalagi DKI Jakarta. Wilayah fisik Kota Bandung memiliki beberapa keterbatasan walaupun sudah lima kali mengalami perluasan wilayah.
Ketika pertama kali dibentuk sebagai Gemeente, 1 April 1906, penduduknya 38.403 jiwa dengan luas wilayah 1.922 hektar. Kini dengan luas wilayah sekitar 17.000 hektar, jumlah penduduknya 2,5 juta jiwa. Ini berarti, kepadatan rata-rata penduduk sekitar 110 jiwa per hektar, jauh di atas standar yang ditetapkan PBB, 60 jiwa per hektar (baca: “Kampung di Tengah Metropolitan Bandung”).
KOTA Bandung khususnya, dan Cekungan Bandung pada umumnya, menghadapi masalah serius dalam kependudukan dengan segala implikasinya, merupakan masalah serius sekarang ini, apalagi untuk masa yang akan datang. Dan, penduduk wilayah ini akan terus berkembang pesat.
Jika ditelisik lebih rinci, pada periode 1980-1990, laju pertumbuhan penduduk rata-rata beberapa kota kecil di Kabupaten Bandung meningkat cukup besar. Kota industri Banjaran dan Majalaya tumbuh 7,10 persen dan 5,95 persen. Kota-kota kecil lainnya yang mengalami hal serupa adalah Cimahi 6,50 persen, Cileunyi 6,30 persen, Padalarang 5,80 persen, dan Lembang 3,80 persen.
Betul laju pertumbuhan penduduk Kota Bandung pada periode yang sama 3,32 persen, lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk kota-kota kecil di Kabupaten Bandung. Namun, Kepala P3WK ITB Prof Dr Ir BS Kusbiantoro mengingatkan, secara absolut, penduduk Kota Bandung dalam Repelita X akan mencapai 3,6 juta jiwa. Jadi, jumlah penduduk kedua wilayah itu pada Repelita X sudah mencapai 6 juta jiwa.
Jumlah itu sebenarnya sudah terlampaui. Jika kita menyimak hasil Susenas yang dilakukan Badan Pusat Statistik, penduduk Cekungan Bandung pada tahun 2002 hampir 6,5 juta jiwa. Jumlah penduduk Kota Bandung 2.142.914 dan Kabupaten Bandung 4.335.578 jiwa.
Meningkatnya jumlah penduduk akan menuntut penyediaan lapangan kerja, perumahan, utilitas, dan fasilitas kota. Padahal secara geologi, wilayah fisik Cekungan Bandung memiliki beberapa keterbatasan. Bentang alam Cekungan Bandung berbeda dengan kota-kota besar lainnya yang umumnya terletak di dekat pantai. Cekungan Bandung yang berada di atas ketinggian 600 meter lebih dikelilingi jajaran gunung, termasuk gunung api aktif.
Daerah utara pada ketinggian di atas 700 meter di atas permukaan laut sudah lama dinyatakan sebagai daerah resapan, yang menjadi andalan persediaan cadangan air tanah untuk memenuhi kebutuhan penduduk wilayah ini. Daerah tersebut harus dijaga dan dipertahankan kelestariannya jika tidak ingin wilayah ini ditinggalkan penduduknya karena ketidaktersediaan air.
Air merupakan segalanya yang bisa mendatangkan kehidupan. Kota Mekah tidak akan menjadi kota yang berkembang seperti sekarang jika saja Siti Hajar, istri Nabi Ismail AS, tidak menemukan air zamzam di sana. Dalam sejarah, banyak kota di dunia yang mati karena ditinggalkan penduduknya akibat tidak tersedianya air.
Padahal, jika kita menoleh ke belakang, sebagai daerah pegunungan, Cekungan Bandung terkenal memiliki cukup banyak sumber air permukaan dan cadangan air tanah. Berdasarkan toponomi, Cimahi itu berasal dari kata “cai mahi”. Cai dalam bahasa Sunda artinya air dan mahi artinya cukup atau mencukupi.
Sampai tahun 1950-an, air di Kota Bandung masih “cur-cor” di mana-mana. “Saya sering mandi di selokan dekat rumah karena airnya bening,” kenang Ny Djoeningsih Abdul Muis, salah seorang tokoh pejuang Jawa Barat. “Cur-cor” merupakan istilah bahasa Sunda yang menunjukkan air mengalir di mana-mana.
Akan tetapi, hanya dalam kurun waktu beberapa periode, cadangan air di Cekungan Bandung merosot tajam, dari segi kuantitas maupun kualitas. Pencemaran yang berasal dari limbah rumah tangga dan industri telah menurunkan kualitas air permukaan. Padahal, Cekungan Bandung merupakan daerah hulu aliran Sungai Citarum dan sejumlah anak sungainya.
Sekarang mari kita lihat bagaimana neraca air tanahnya. Di berbagai tempat, penduduk kesulitan memperoleh air dari sumur dangkal. Apalagi pada musim kemarau. Indikasi ini secara sederhana memperlihatkan permukaan air tanah di berbagai tempat di Cekungan Bandung menurun tajam. Secara ekstrem, hal ini terlihat di daerah-daerah yang merupakan konsentrasi industri akibat pengambilan air tanah yang melampaui kemampuan daya dukung debit tersimpannya di dalam akuifer. Sebagian besar akuifer yang paling banyak dimanfaatkan adalah akuifer pada kedalaman 40-150 meter.
Selama 16 bulan dilakukan penelitian, akibat pengambilan air tanah secara berlebihan, laju penurunan muka air tanah di Cimindi, Cibaligo (Cimahi) sekitar 0,25-0,37 meter setiap bulan. Di Leuwigajah (Cimahi), muka air tanah turun sekitar 0,18-0,31 meter setiap bulan. Sedangkan di daerah Sudirman, Cibuntu, dan Holis, muka air tanah turun 0,25-0,5 meter.
Muka air tanah di Cicaheum dalam periode yang sama turun 0,37-0,5 meter per bulan. Di daerah Rancaekek, muka air tanah turun rata-rata 0,37-0,5 meter. Sementara di daerah Jalan Moh Toha dan Buahbatu, muka air tanah turun rata-rata 0,12-0,31 meter per bulan.
Daerah-daerah itu merupakan konsentrasi industri tekstil dan produk tekstil. Industri tersebut memang telah mengangkat pamor Jawa Barat menjadi daerah penghasil utama yang memberikan kontribusi sekitar 70 persen produksi tekstil nasional. Namun, industri tekstil menggunakan sumber daya air cukup besar.
Selain itu, terjadinya penurunan muka air tanah di Cekungan Bandung dipengaruhi makin kecilnya daerah resapan sehingga sebagian besar imbuhan yang berasal dari air hujan lebih banyak menjadi air larian yang mengakibatkan terjadinya banjir. Keadaan ini disebabkan perubahan tata guna lahan di daerah resapan.
Wilayah Bandung utara, yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi, dalam beberapa tahun terakhir dimanfaatkan untuk pembangunan perumahan mewah, tempat wisata terpadu, dan berbagai alasan lainnya. Ruang terbuka hijau di Kota Bandung dan Cimahi maupun Kabupaten Bandung terus menyusut. Jadi, di atas kertas, para ahli sangat boleh jadi bisa mengalkulasi kapan tragedi menimpa Cekungan Bandung.
Apabila tidak ada usaha dan langkah yang sungguh-sungguh dari semua pihak di Kabupaten Bandung, Kota Bandung, maupun Kota Cimahi, apalagi yang kelak bisa dibanggakan dari wilayah yang pernah mendapat julukan “priangan si jelita” ini? “Jangan cuma omdo,” sebuah ungkapan yang dipinjam dari Direktur Eksekutif Bandung Heritage Frances Affandi, yang artinya hanya “omong doang”.
Karena itu, jika dulu kita sering menyalahkan penjajah yang merusak Tanah Air tercinta ini, sekarang siapa lagi. Sejak proklamasi kemerdekaan, Cekungan Bandung sudah lebih dari 59 tahun berada di tangan kita.
Her Suganda Anggota Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat/FWJB